Penyuluhan Dini kebersihan diri dan lingkungan di SD 08 Koto Gadang Oleh Mahasiswa KKN
Pada Hari Rabu, 7 Agustus 2024Di SD 08 Koto Gadang, sekelompok mahasiswa KKN dari Univeristas…
Pada Hari Rabu, 7 Agustus 2024Di SD 08 Koto Gadang, sekelompok mahasiswa KKN dari Univeristas…
Acara memeriahkan HUT Indonesia ke-79 di jorong Gantiang, Nagari Koto Gadang dilaksanakan di halaman belakang…
Sejarah Koto Nagari Nagari Koto Gadang merupakan salah satu dari 11 nagari yang terletak di…
Koto Gadang adalah sebuah Nagari (setingkat desa) di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Nagari ini terkenal sebagai penghasil kerajinan perak dan melahirkan banyak tokoh-tokoh tingkat nasional bahkan internasional, seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Soetan Sjahrir, Haji Agus Salim, Jenderal Rais Abin, Rohana Kudus, dan banyak tokoh lainnya.
Nagari Koto Gadang terletak di dataran antara Gunung Singgalang dan Ngarai Sianok yang terletak di ketinggian antara 920 – 950 meter dari permukaan laut dengan suhu rata-rata berkisar antara 30oC hingga 16oC pada malam hari.
Nagari Koto Gadang merupakan salah satu dari 11 nagari yang terletak di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam. Asal-usul Nagari Koto Gadang menurut sejarahnya (tambo) dimulai pada sekira akhir abad ke-17, dimana ketika itu sekelompok kaum moyang yang berasal dari Pariangan mendaki, menuruni bukit dan lembah, menyeberangi anak sungai, untuk mencari tanah yang elok untuk dipeladangi dan dijadikan sawah serta untuk tempat permukiman.
Setelah sekian lama berkembara, sampailah mereka di sebuah bukit yang bernama Bukik Kapanehan (Bukit Kepanasan). Disitulah mereka bermufakat akan membuat teratak, meneroka sawah, dan berladang yang kemudian berkembang menjadi sebuah perkampungan. Lama kelamaan, dikarenakan anak kemenakan bertambah banyak, tanah untuk bersawah dan berladang tidak lagi mencukupi untuk dikerjakan maka dibuatlah empat buah koto. Bercerailah kaum-kaum yang ada di bukit tersebut. Dimana 2 penghulu pergi ke Sianok, 12 penghulu dan 4 orang tua pergi ke Guguak, 6 penghulu pergi ke Tabek Sarojo, dan 24 penghulu menetap di Bukik Kapanehan. Karena penghulu yang terbanyak tinggal di koto tersebut, maka dinamakanlah kampung itu sebagai Koto Gadang (kota besar)
Koto Gadang merupakan nagari/desa yang paling banyak melahirkan sarjana di Indonesia. Sejak zaman penjajahan hingga sekarang, keluarga-keluarga di Koto Gadang tetap mengutamakan pendidikan kepada anggota keluarganya. Kalau masyarakat daerah lain di Minangkabau merantau umumnya untuk berdagang, maka masyarakat Koto Gadang merantau untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Tahun 1856, dari 28 Sekolah Desa dengan masa belajar tiga tahun yang berdiri di berbagai nagari di Sumatera Barat, satu terdapat di nagari Koto Gadang. Menurut laporan Steinmetz, sejak didirikan, ada 416 murid Sekolah Desa. Namun hanya 75 orang yang selesai. Selebihnya putus di tengah jalan, karena menikah atau lantaran berbagai sebab lain. Steinmetz menilai, kemajuan paling pesat tampak pada anak-anak Agam terutama dari Koto Gadang yang rajin dan cerdas.
Kesadaran menuntut ilmu di Koto Gadang dimulai di awal abad-20 ketika pembaharuan dimasukkan oleh Laras Koto Gadang, Jahja Datoek Kajo (bertugas dari tahun 1894-1914) yang meramalkan bahwa hanya melalui pendidikan, corak kehidupan dapat didatangkan ke Koto Gadang. Dengan perencanaan yang sistematis dan dengan sistem kepemimpinan yang kharismatik, Jahja Datoek Kajo mendorong setiap anak lelaki dan perempuan pergi ke sekolah. Sekolah untuk anak laki-laki didirikan pada tahun 1900, dan pada tahun 1912 didirikan pula sekolah yang terpisah untuk anak-anak gadis Koto Gadang. Sebuah badan tersendiri yang dinamai studiefonds (dana pelajar) didirikan untuk mengumpulkan dana dari orang kampung guna mengirim anak-anaknya melanjutkan studi di Jawa, dan bahkan di negeri Belanda.
Besarnya semangat belajar anak-anak Koto Gadang, maka pada awal dekade 1900-an, negeri ini dikenal sebagai tempat kelahiran para pekerja birokrasi Belanda, seperti jaksa, hakim, guru, pegawai pajak, yang meliputi daerah tugas Sumatera, Kalimantan, dan Batavia. Menurut suatu laporan, pada 1915, diperkirakan 165 lelaki dari Koto Gadang bekerja sebagai pegawai pemerintahan Belanda. Hampir separuh (79 orang) bekerja di luar wilayah Minangkabau. Sebanyak 72 orang di antaranya lancar berbahasa Belanda, sebagai suatu bukti mereka berpendidikan baik.
Janjang Koto Gadang adalah salah satu objek wisata Tangga dan jalan yang bertembok ini melintas mulai dari Koto Gadang di lembah Ngarai Sianok lalu naik ke Bukittinggi.
Terletak di kawasan Geopark Ngarai Sianok, Puncak Taruko menawarkan sebuah landscape alam yang mempesona. Pepohonan di puncak bukit dan tebing ngarai yang curam, serta hijau hamparan sawah di bawahnya memanjakan mata. Lokasi ini bisa dijadikan tempat rehat sejenak dari rutinitas sehari-hari.
Ngarai Sianok merupakan sebuah lembah sempit yang dikelilingi oleh bukit-bukit bertebing curam yang dihiasi dengan aliran sungai kecil di tengahnya. Kontur Lembah Sianok terbentuk karena proses turunnya sebagian lempengan bumi, sehingga menimbulkan patahan berwujud jurang yang curam.
Museum itu merupakan sekolah kerajinan Amai Setia yang didirikan sejak tahun 1915 oleh Rohana Kudus, wartawan perempuan pertama di Indonesia yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 2018.
Sejak didirikan pertama kali pada tahun 1856, masjid ini telah mengalami perubahan bentuk dan beberapa kali perbaikan. Masjid paling awal, dikenal sebagai Masjid Jamik Tua, bergaya khas Minangkabau dengan atap-atap lancip berbentuk kerucut.
Rumah yang telah berdiri sejak tahun 1800-an tersebut merupakan tempat masa kecil Haji Agus Salim yang merupakan seorang diplomat, jurnalis, dan Menteri Luar Negeri Indonesia pada 1947-1949. Beliau laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari “Orang Tua Besar” (The Grand Old Man).